Seketika.com, Jakarta – Indonesia kehilangan devisa hingga Rp180 triliun setiap tahunnya akibat tingginya jumlah masyarakat yang memilih berobat ke luar negeri. Singapura, Malaysia, Jepang, dan Amerika Serikat menjadi negara tujuan utama bagi lebih dari 1 juta warga Indonesia yang mencari layanan kesehatan di luar negeri.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr. Adib Khumaidi, mengungkapkan bahwa salah satu alasan utama masyarakat memilih pengobatan di luar negeri adalah karena biaya yang dianggap lebih murah.
“Kenapa pembiayaan murah? Karena ada kebijakan negara, regulasi negara soal free tax khususnya pelayanan kesehatan kepada masyarakat,” kata dia dikutip CNBC Indonesia, Minggu (15/12/2024).
Selain biaya obat dan transportasi yang lebih murah, kenyamanan pasien dalam berkomunikasi dengan dokter menjadi faktor lain yang mendorong keputusan ini.
“Kami sekarang selalu mengatakan kemampuan komunikasi pada dokter di Indonesia harus ditingkatkan, karena salah satu dasar pasien berobat ke luar negeri, berobat ke Malaysia, atau Singapura, itu salah satunya karena faktor komunikasinya yang mereka anggap lebih enak di sana daripada di Indonesia,” lanjut Adib.
Indonesia juga menghadapi tantangan besar dalam sektor kesehatan. Saat ini, rasio dokter di Indonesia hanya mencapai 0,47 per 1.000 penduduk. Angka ini jauh di bawah standar ideal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 1 dokter per 1.000 penduduk. Kondisi ini menempatkan Indonesia di posisi ketiga terendah di ASEAN, hanya lebih baik dari Laos (0,3/1.000) dan Kamboja (0,42/1.000).
Rendahnya rasio dokter ini turut memperparah keterbatasan layanan kesehatan di Tanah Air, yang pada akhirnya mendorong masyarakat untuk mencari pengobatan di luar negeri. Potensi ekonomi yang hilang akibat kondisi ini sangat besar, mengingat tingginya jumlah masyarakat yang bolak-balik ke luar negeri setiap tahunnya.
Untuk mengatasi persoalan ini, dr. Adib menekankan pentingnya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia, baik dari sisi kebijakan, fasilitas, hingga kemampuan komunikasi dokter. Ia juga mengingatkan bahwa memenuhi standar WHO bukan hanya sebuah keharusan, tetapi juga bentuk tanggung jawab negara kepada rakyatnya.
Kehilangan devisa yang signifikan ini seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera memperbaiki sektor kesehatan dalam negeri. Jika tidak, tren warga berobat ke luar negeri akan terus berlanjut, merugikan perekonomian nasional dan memperburuk citra pelayanan kesehatan Indonesia.