Yang paling menarik dari semua ini adalah jika ada seseorang yang menyebut seseorang sebagai seorang “narsisis,” Ia bisa dengan mudah menyebut mereka sebagai pecundang atau pemalas.
“Mereka tidak mengejar impian mereka seperti saya. Mereka tidak akan pernah memahami tingkat kerja keras yang saya lakukan untuk mencapai tujuan saya.”
Jika ia berada dalam suatu hubungan percintaan atau pertemanan dan orang lain mengatakan bahwa dirinya terlalu fokus pada diri sendiri dan proyek-proyek pribadinya sehingga menyebabkan masalah dalam hubungan tersebut, Ia hanya tinggal menjawab “Waduh, berada dalam suatu hubungan? Terlalu banyak ‘drama’ bagi saya saat ini dalam hidup saya. Saya tidak punya ruang untuk semua itu. Saya harus fokus pada diri sendiri dan nilai pasar saya sendiri dulu.”
Ini adalah alasan yang bagus untuk membuat seseorang merasa bahwa masalah itu berasal dari kekurangan orang lain, daripada dari dirinya yang terlalu fokus pada diri sendiri.
Dan ketika delusi narsistik seseorang sudah separah itu, hal tersebut menjadi mulai memiliki kemiripan dengan ‘agama’. Han berkata:
“the infinite work on the ego resembles self-observation and self- examination in the protestant religion, and they, in turn, represent a technique of subjectivation and domination. instead of looking for sins, now negative thoughts are the ones to be sought, the ego struggles with itself as against an enemy.”
usaha yang tak terbatas pada ego memiliki kemiripan dengan observasi diri dan introspeksi diri dalam agama protestan, dan pada akhirnya, hal tersebut merepresentasikan sebuah teknik subjektivasi dan dominasi. alih-alih mencari dosa, kini pikiran negatiflah yang dicari, ego bergulat dengan dirinya sendiri bagaikan melawan seorang musuh.
Bahkan, hal-hal seperti hutang kartu kredit berubah menjadi sesuatu yang menyerupai hutang religius yang harus dibayar. Layaknya konsep dosa dalam agama abrahamik, satu-satunya cara bertobat dan menghapuskan dosa ‘berhutang kartu kredit’ hanyalah melalui partisipasi kedalam ibadah narsisme yang digerakkan oleh pasar dan pencapaian suatu prestasi. Sehingga, seorang narsisis merupakan suri teladan moral masyarakat neoliberal.
Menurut Han, ‘neoliberalisme’ merupakan konsep yang tak terpisahkan dengan narsisme dan achievement society. Mengapa demikian? Han meyakini bahwa cara masyarakat kita terstruktur mendorong orang-orang untuk menjadi narsis karena mereka tidak memiliki pilihan lain.
Sama seperti di masa lalu, di mana ada jalur kehidupan yang umum (bersekolah, lulus, mendapatkan pekerjaan, menikah, memiliki anak, membeli rumah, dan seterusnya), Han berpendapat bahwa dalam masyarakat neoliberal saat ini, menjadi narsis adalah jalur yang banyak orang pilih karena tekanan-tekanan dari nilai-nilai yang ada di dunia saat ini.