Tetapi kemudian ia bangun keesokan harinya dan mendorong lebih keras lagi-sampai suatu hari, ia hancur. Karena tidak ada seorang pun yang seharusnya terus menerus memaksakan dirinya. Dan kemudian, seolah-olah hal tersebut belum cukup, sering kali ia merasa benci pada dirinya sendiri, merasa tidak memiliki motivasi untuk menjadi diri sendiri yang ia idamkan. Ini adalah jenis penyiksaan yang sungguh luar biasa.
Bayangkan di masa lalu, seperti pada abad pertengahan, jika seseorang lahir sebagai petani. Ia diberikan peran sosial yang jelas. Setiap hari Ia bekerja keras, namun Ia tahu persis siapa dirinya. Ia tidak mencoba meningkatkan keterampilan mengolah tanah sebesar 1% setiap hari demi menjadi “petani senior” suatu hari nanti.
Dalam masyarakat seperti ini, jika seorang petani ingin memperbaiki diri, biasanya perbaikan itu dilakukan di bidang spiritual. Pekerjaan yang Ia lakukan kebanyakan bersifat fisik, dan jika Ia kelelahan, biasanya cukup mengambil satu hari libur seminggu, dan tubuhnya akan pulih dengan sendirinya.
Namun, dalam dunia pschopolitic, di mana seseorang terus-menerus dituntut untuk memaksimalkan kemampuan dirinya, kelelahan dapat menyebabkan apa yang oleh Byung-Chul Han disebut sebagai burnout.
Ini bukan masalah yang bisa diselesaikan dengan hanya mengambil cuti sehari. Depresi yang Han bicarakan bisa membuat seseorang terjebak dalam kondisi itu selama bertahun-tahun.
Tantangan yang dihadapi masyarakat saat ini lebih berakar pada depresi daripada represi. Tidak seperti masyarakat di masa lalu di mana kekuatan eksternal menindas individu, saat ini kita justru lebih sering menindas diri kita sendiri.
Kita didorong untuk ‘mengeksploitasi diri kita sendiri’, yang membuat kebebasan modern menjadi alat kontrol yang subtil namun kuat. Kita menjadi tuan sekaligus budak dari pikiran kita sendiri, terus-menerus mendorong diri kita sendiri untuk menjadi lebih baik, melakukan lebih banyak hal, dan berhenti mengeluh.
Antara kita gagal memenuhi harapan kita sendiri, yang menyebabkan kelelahan dan keputusasaan, atau kita mencapai tujuan kita hanya untuk segera mengejar tujuan yang baru. Pikiran manusia itu mudah gelisah, selalu mencari target pencapaian berikutnya. Bahkan ketika kita berhasil, kita tetap merasa cemas, kelelahan, dan selalu tidak puas.
Sayangnya, tidak ada yang datang untuk menyelamatkan kita karena, seperti yang kita tahu, kecemasan mendorong produktivitas. Dari sudut pandang ekonomi, akan bermanfaat bagi kita untuk terus merasa cemas dan berproduksi.
Depresi dan kecemasan adalah jebakan yang sering menjerat banyak orang, terutama di dunia modern di mana teknologi memperkuat kecenderungan ini.