Seketika.com, Jakarta – Mayoritas warga Tionghoa di Indonesia kini lebih dikenal dengan nama khas Indonesia yang berbau Jawa, seperti Budi Hartono atau Djoko Susanto. Namun, di balik nama-nama tersebut, ada sejarah panjang yang mengungkapkan perjuangan mereka menghadapi diskriminasi di era Orde Baru.
Banyak warga Tionghoa yang lahir sebelum tahun 2000 lebih memilih menggunakan nama Indonesia daripada nama Tionghoa asli mereka. Contohnya adalah Sudono Salim, pendiri Indomie, yang memiliki nama asli Liem Sioe Liong, atau Djoko Susanto, bos Alfamart, yang lahir dengan nama Kwok Kie Fo.
Langkah ini tidak dilakukan tanpa alasan. Kebijakan rasialis pemerintah di bawah Presiden Soeharto menjadi pemicu utama. Seperti dijelaskan oleh Amy Freedman dalam bukunya Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia (2010), Soeharto mendorong asimilasi warga Tionghoa untuk menghilangkan identitas mereka sebagai “bukan pribumi”.
Pada tahun 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 yang mengharuskan warga keturunan asing, termasuk etnis Tionghoa, mengganti nama mereka dengan nama Indonesia.
Kebijakan ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk menghapus identitas Tionghoa di Indonesia, yang saat itu dipandang negatif karena sentimen anti-komunisme dan hubungan dengan China.
Selain itu, Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 juga membatasi kebudayaan Tionghoa, termasuk bahasa Mandarin, perayaan Tahun Baru Imlek, hingga berbagai bentuk ekspresi budaya lainnya. Kebijakan ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga menghapus jejak kebudayaan Tionghoa yang telah menjadi bagian dari sejarah Indonesia.