Menurut sosiolog Mely G Tan dalam buku Etnis Tionghoa di Indonesia (2008), kebijakan ini secara nyata membatasi ekspresi budaya kelompok etnis tertentu, yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Selama 32 tahun masa pemerintahan Soeharto, warga Tionghoa di Indonesia harus beradaptasi dengan berbagai aturan diskriminatif. Bahkan untuk urusan administrasi, mereka diwajibkan memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) sebagai bukti bahwa mereka adalah Warga Negara Indonesia.
Namun, di tengah pembatasan tersebut, satu hal yang tetap diperbolehkan adalah kegiatan bisnis. Pengusaha Tionghoa dianggap mampu memobilisasi modal besar dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi di masa Orde Baru.
Menurut Van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia (2012), kolaborasi dengan pengusaha Tionghoa menjadi salah satu kunci pertumbuhan ekonomi di masa itu.
Meski demikian, kesuksesan para pengusaha ini menciptakan stereotip bahwa semua warga Tionghoa kaya raya. Stigma ini memuncak pada kerusuhan 1998, di mana banyak warga Tionghoa menjadi korban kekerasan.