Seketika.com, Health – Apakah mungkin menjadi terlalu optimis dan terlalu berharap akan masa depan? Jawabannya adalah ya tetapi hal tersebut dapat membuat individu kelelahan untuk mempertahankan sikap positif yang kaku dan dangkal. Reaksi semacam itu sebagai toxic positivity.
Sebagian orang pernah berada dalam situasi di mana kamu berusaha terbuka kepada seseorang tentang masalah yang serius, dan tanggapannya hanya “Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja.” Kamu bertujuan untuk sedikit melepaskan beban dengan bercerita, tetapi yang kamu dapatkan hanya pernyataan positif yang bersifat hafalan yang membuat kita merasa tidak ditanggapi hanya karena lawan bicaramu terlalu positif.
Ada lebih banyak lagi kerugian dari menjadi terlalu positif. Bayangkan jika kamu diberi masukan negatif tentang performa kerjamu, dan alih-alih diberi tahu secara spesifik bagaimana kamu bisa meningkatkan performa kerja, kamu disarankan untuk memiliki “semangat yang baik” atau “melihat sisi baiknya”.
Atau ambil perspektif orang tua yang mengunjungi guru dari anak mereka dan diberitahu bahwa “semuanya akan berjalan dengan baik,” padahal perilaku anak mereka mungkin memberikan sinyal masalah.
Secara operasional, toxic positivity telah didefinisikan sebagai menghindari atau menyangkal segala bentuk pengakuan terhadap stres dan hal negatif lainnya seperti yang dikatakan oleh Sokal, Trudel, dan Babb dalam sebuah artikel di tahun 2020.
Toxic positivity adalah kegemaran untuk melihat semua pengalaman-bahkan yang tragis sekalipun-dalam sudut pandang yang positif.
Orang yang menganut paham bahwa kepositifan dapat mengatasi segala sesuatu cenderung untuk fokus pada hal-hal yang baik dalam hidup dan menghindari perasaan sedih atau cemas.