Gaya HidupKesehatanOpini

Mengenal Toxic Positivity: Dampak Buruk dari Menjadi Seorang yang Selalu Positif

259
×

Mengenal Toxic Positivity: Dampak Buruk dari Menjadi Seorang yang Selalu Positif

Share this article
Ilustras. (Luisella Planeta/Pixabay)

Dengan membatasi percakapan pada hal-hal yang positif, mereka gagal memahami emosi yang melekat dalam pengalaman orang lain sepenuhnya.

Lebih buruk lagi, hal ini dapat merendahkan perspektif seseorang yang sedang mengalami keadaan yang sulit.

Pada tahun 2006, sekelompok peneliti di University of California di San Diego dan Boston University mempelajari kepositifan yang berlebihan dengan mengumpulkan 60 orang yang memiliki gangguan suasana hati atau kecemasan.

Setengah dari peserta ini diminta untuk menekan emosi mereka saat menonton film yang intens dan mempengaruhi; sisanya diminta untuk menerima perasaan yang muncul saat mereka menonton.

Dari sini, para peneliti menyimpulkan bahwa menekan emosi seperti yang dilakukan ketika seseorang memaksakan sikap positif, tanpa kemampuan untuk mentoleransi kekhawatiran atau kesedihan- terkait dengan tingkat afek negatif yang lebih tinggi, perasaan positif yang lebih rendah, dan menurunnya kesejahteraan (Campbell-Sills dkk, 2006).

Dari penelitian ini saja, sudah jelas bahwa mengandalkan kepositifan yang dangkal, tanpa mengizinkan adanya kompleksitas emosional, tidaklah sehat. Namun, banyak orang yang tidak memiliki cara lain untuk mengelola emosi mereka, atau gaya komunikasi yang lain.

Penting untuk diketahui bahwa mengurangi ketergantungan anda pada kepositifan dapat membuat anda menjadi pendengar yang lebih baik.

Daripada menyuruh seseorang untuk “melihat sisi baiknya”, mengapa tidak mengakui bahwa mereka sedang mengalami sesuatu yang serius? kamu mungkin mengatakan bahwa apa yang mereka alami terdengar cukup sulit atau kamu bisa mengatakan bahwa kamu mengerti mengapa mereka merasakan apa yang mereka rasakan.