Scroll untuk baca Berita
Call Us banner 325x300
PendidikanPolitik

Pendidikan Tinggi Tertiary Education, Ledia Hanifa Amaliah: Sembrono, Tidak Solutif dan Tidak Relevan

258
×

Pendidikan Tinggi Tertiary Education, Ledia Hanifa Amaliah: Sembrono, Tidak Solutif dan Tidak Relevan

Share this article

“Perguruan Tinggi Negeri merupakan investasi negara terhadap tumbuh kembang masa depan generasi bangsa, bukan bisnis negara”

Seketika.com, Jakarta – Keluhan dan penolakan atas kenaikan biaya UKT di berbagai kampus negeri sedang ramai terjadi. Sayangnya, tanggapan Pemerintah justru terkesan berlepas tangan. Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Tjitjik Sri Tjahjandaries, bahkan menyebut pendidikan tinggi adalah tertiary education, alias bukan wajib belajar yang merupakan prioritas bagi Pemerintah.

Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, menyayangkan pernyataan tersebut. Dia menganggap ungkapan tersebut sebagai sembrono, tidak solutif, dan tidak relevan.

“Masyarakat, terutama orangtua dan mahasiswa, sedang mengeluhkan biaya UKT yang naik berkali-kali lipat jadi mahal. Tidak terjangkau bagi banyak keluarga, sampai sudah ada korban drop out. Tapi pemerintah malah berkelit kalau kuliah itu tertiary education, pilihan pribadi untuk lanjut ke jenjang lebih tinggi, bukan prioritas pemerintah. Reaksi ini menurut saya sangat sembrono, tidak solutif dan tidak nyambung,” jelas Ledia dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria di Jakarta, Sabtu (18/5/2024).

Ledia melanjutkan, reaksi pemerintah tersebut memunculkan kekhawatiran bahwa karena pendidikan tinggi bukan wajib belajar dan bukan prioritas pemerintah, maka terserah saja mau naik berapa UKT-nya.

“Seolah-olah terserah saja mau semahal apa, terserah mahasiswa sanggup lanjut kuliah atau drop out, karena semua itu adalah pilihan,” ujar politisi Fraksi PKS ini.

Reaksi pemerintah menanggapi mahalnya kenaikan UKT dengan mengingatkan soal tertiary education menurut Ledia menjadi tidak relevan karena status PTN itu jelas Perguruan Tinggi Negeri yang berada di bawah naungan negara.

Sehingga, negara harus siap dan mau mengawasi implementasi regulasi penentuan nilai harga satuan biaya operasional pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

“Sudah seharusnya penentuan nilai harga satuan biaya operasional pendidikan dikontrol oleh pemerintah. Kalau tidak dikontrol dan diawasi, maka akses pendidikan tinggi di Indonesia semakin sulit dijangkau, khususnya bagi masyarakat yang memiliki status ekonomi menengah ke bawah. Cita-cita mendulang Generasi Emas 2045 pun bisa hanya tinggal mimpi,” tegas legislator asal dapil Jawa Barat I ini.

Ledia kembali mengingatkan bahwa Perguruan Tinggi Negeri merupakan investasi negara terhadap tumbuh kembang masa depan generasi bangsa, bukan bisnis negara.

Karenanya, negara harus hadir dalam memberikan kemudahan akses pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, bukan untuk sekadar memenuhi kebutuhan pasar.

“Untuk mendapat manfaat bonus demografi dan memanen SDM unggul Indonesia Emas 2045, maka prioritas kita tentulah bagaimana generasi muda mendapatkan pendidikan dengan kualitas terbaik, dengan pelayanan terbaik, dan dengan alokasi yang terbaik,” ujar alumnus Master Psikologi Terapan Universitas Indonesia ini.

Karenanya, menurutnya, terdapat dua hal yang harus terjadi secara simultan. Pertama, negara harus hadir lewat regulasi yang membantu PTN agar bisa mandiri sekaligus mendorong terbukanya akses pendidikan.

Kedua, Perguruan Tinggi juga harus mampu memberdayakan badan usaha agar beban operasional pendidikan tinggi tidak sepenuhnya ditanggung oleh mahasiswa.